Menurut Abah, persoalan pengelolaan sampah memang harus menjadi perhatian bersama. Lemahnya kesadaran masyarakat saat ini, membuat potensi sampah khususnya limbah rumah tangga, akhirnya terbuang sia-sia.
“Makanya mulai hari ini kita coba bagaimana bank sampah ada di antara kita semua,” kata dia.
Dengan tangan terampilnya, ia tak jijik mempraktekan tumpukan sampah berbagai jenis, dalam mengajarkan bagaimana cara memilih dan memisahkan sampah dengan baik.
Empat bak sampah yang berada di kawasan perkantoran perusahaan energi plat merah itu, langsung ia kumpulkan, hingga sejurus kemudian, seluruh peserta ikut serta dalam praktek tersebut.
“Jangan pakai kaos tangan, biar tangan kita terbiasa dengan sampah dan imun tubuh kita juga lebih kebal,” kata dia mengingatkan.
Sambil disisipi guyonan khas sunda, ia mencontohkan bagaimana memungut, memilah dan memisahkan sampah organik dan anorganik, tanpa pengaman sekalipun.
“Semakin kita kenal sampah maka imun tubuh kita akan semakin kebal terhadap penyakit,” kata dia memberi motivasi.
Menurutnya, pemahaman pengelolaan seperti itu harus dimulai dari rumah, agar warga akrab dengan sampah dan alam sekitar. “Kalau kita sayang sama alam, alam pun akan sayang kita, percaya deh,” ujar dia.
Dengan pola pengembangan bank sampah, masyarakat menjadi lebih peka terhadap sampah, dan tentunya bisa memberikan nilai tambah bagi mereka.
“Bank sampah ini jangan hanya dibahas di ruangan tapi kapan dimulai,” ujar dia menyemangati peserta.
Ai Nining, (39), kader CSR Pertamina asal Desa Dirgahayu, Kecamatan Kadipaten Tasikmalaya mengatakan, sejak pertama kali dikenalkan awal tahun ini, kelompok pemberdayaan ibu-ibu dari Dusun Kampung Gekbrong tersebut, sudah dua kali panen sampah. “Lumayan meskipun baru puluhan kilo kami jual,” ujarnya sambil tersenyum.
Namun bukan itu satu-satunya yang ingin ia gapai. Menurutnya, pengelolaan sampah di tanah kelahirannya, diharapkan menjadi lebih rapih, dan lingkungan sekitar menjadi lebih bersih.
“Kami akan terus sosialisasi ke kampung lainnya, untuk menjadi bagian perubahan ini,” ujar dia.
Ai mengaku, upaya pengembangan bank sampah, memang bukan perkara mudah, selain harus berbenturan dengan pola fikir dan kebiasaan warga, juga pola itu dianggap tidak menguntungkan.
“Ya wajar pernah diledek, lagian kita ingin maju dan berubah,” ujarnya dia sambil tersenyum, membuka sedikit cerita di awal pembangunan bank sampah di sekitar kampungnya.
Namun seiring meningakatnya pendapatan, dan perubahan kondisi alam sekitar menjadi lebih bersih dan tertib, akhirnya banyak warga bergabung. “Sekarang ada sekitar 50 warg yang sudah menjadi anggota komunitas kami,” kata dia.
Setali mata uang dengan Ai, kondisi serupa dialami Aas, kader Pertamina Desa Cinta, Garut. Perlahan pasti, pengelolaan sampah yang ia sudah lebih maju.
Bersama kelompoknya yang sudha berjumlah 30 orang, ia mampu mengubah sampah menjadi kerajinan anyaman yang bernilai guna. “Saya membuat karpet, tas dari cangkang (bungkus) kopi,” kata dia.
Aas mengaku, perkenalannya dengan pengolaan sampah, telah dimulai lima tahun lalu, jauh hari sebelum Pertamina datang. Namun dengan sumbangan informasi jaringan dan pelatihan yang diberikan saat ini, kerja kerasnya sudah mulai dikenal luas.
“Bulan lalu produk dari Cinta ini kita bawa ke Inacraf dan Alhamdulillah banyak peminatnya,” ujar Asmaul Husna, juru bicara Pertamin Unit Karaha, ikut menguatkan pernyataan Aas.
Menurut Una panggilan akrabnya dia, potensi sampah yang melimpah di pelosok desa, bisa menjadi bagian penting dalam pengembangan bank sampah ke depan.
“Kita tengah mengembangkan dan memberikan pelatihan, bagaimana mereka bisa mengolah kerajinan lokal dari bahan alam seperti bambu, kayu pinus dan lainnya,” papar dia.
https://www.liputan6.com/regional/read/3957781/cerita-emak-emak-di-garut-tasik-belajar-mengolah-sampah
No comments:
Post a Comment