Data UNICEF pada Februari 2018 menyebut, setidaknya 200 juta anak perempuan dan wanita yang hidup hari ini dan tinggal di 30 negara punya pengalaman menjalani sunat. Namun, sebagian besar anak perempuan dan wanita berpikir bahwa FGM harus berakhir dan ada penurunan prevalensi praktik secara keseluruhan selama tiga dekade terakhir.
Sayangnya, tidak semua negara setuju. Laju penurunan praktik sunat perempuan tidak merata. Data dari survei representatif skala besar menunjukkan, praktik FGM sangat terkonsentrasi di negara-negara dari pantai Atlantik ke Afrika, negara-negara wilayah Timur Tengah (Irak dan Yaman) dan Asia.
Praktik ini nyaris seluruhnya dilakukan di Somalia, Guinea, dan Djibouti dengan tingkat sekitar 90 persen, sebagaimana dilansir dari laman UNICEF. Di Mali, Sierra Leone, Guinea, Gambia, Somalia, dan Mesir, lebih dari setengah populasi wanita berpikir, praktik sunat perempuan harus dilanjutkan.
Di sisi lain, WHO mengklasifikasikan FGM menjadi empat kategori besar pada tahun 1995 dan diperbarui pada tahun 2007:
Tipe 1: Penghilangan sebagian atau total klitoris dan/atau preputium.
Tipe 2: Penghilangan sebagian atau total klitoris dan labia minora dengan atau tanpa eksisi labia majora.
Tipe 3: Mempersempit lubang vagina dengan memotong dan menyatukan labia minora dan/atau labia majora. Dalam kebanyakan kasus, tepi potong labia dijahit menjadi satu, yang disebut sebagai 'infibulasi'.
Tipe 4: Semua prosedur berbahaya pada alat kelamin wanita untuk tujuan non-medis, seperti menusuk dan mengikis klitoris.
Secara keseluruhan, praktik FGM telah menurun selama tiga dekade terakhir. Di 30 negara dilihat dari data prevalensi, sekitar 1 dari 3 anak perempuan berusia 15 hingga 19 tahun hari ini telah menjalani praktik sunat.
Hal tersebut menurut Laporan yang dihimpun UNICEF pada tahun 2017. Survei ini dilakukan dari 2004-2016 juga terdapat penurunan dibanding pada pertengahan 1980-an, yang mana 1 dari 2 anak perempuan pernah disunat.